PUNK MOSLEM: Da’wah di Basis Underground

PUNK MOSLEM: Da’wah di Basis Underground

Jumat, 30 Mei 2008

Inilah fenomena baru: ngaji di kalangan anak Punk. Mereka mengidentitaskan pengajian komunitas underground itu dengan sebutan Punk Moslem.

Adalah Ahmad Zaki, menyisihkan waktunya untuk mengasuh anak-anak punk belajar membaca Al Qur’an. Zaki, menaruh harapan besar, generasi muda ini kelak menjadi agen perubahan untuk menularkan kebaikan kepada rekan-rekan sesama anak-anak punk.

Pergumulan Zaki dengan komunitas anak-anak punk bermula ketika ia ber¬gaul dengan ternan-ternan komunitas punk di kawasan Pulo Gadung, Rama¬dhan setahun yang lalu (2007). Ketika itu, Zaki menjadi Event Organigizer (EO) sebuah pertunjukan musik di sebuah kampus. Ia sering mengundang komunitas punk dalam kegiatan pertunjukan musik di mall-mall, kampus dan sekolah-sekolah.

Saat itulah Zaki mendapat tempat di hati anak-anak punk. Mereka sering bertanya, kapan ada job lagi, maksudnya agenda ngeband. “Mereka yakin, secara materi bisa mendapatkan sesuatu, sete¬lah saya menjadi marketing kelompok band mereka,” ujar Zaki mengenang.

Zaki yang aktif di Dompet Dhuafa (DD) rupanya telah mengamati perkemba¬ngan anak-anak punk yang acapkali nongkrong di jalan-jalan ini. Meski Zaki bukan anak jalanan, ia merasa terpanggil untuk berdakwah di komunitas anak¬anak punk. “Dulu, saya pernah bandel. Setidak-tidaknya, saya tahu kehidupan mereka,” ungkapnya.

Di komunitas band underground itulah, Zaki bertemu dengan (aIm) Budi Khaironi, orang yang paling disegani di komunitas punk tersebut. Sebelum meninggal akibat kecelakan motor (Maret 2007), Zaki teringat kata-kata yang pernah diucap¬kan pimpinan komunitas punk itu: “Bang Zaki, tolong bimbing teman-teman kami (secara spiritual).”

Lalu siapa sesungguhnya Budi Khae¬roni (32)? Dia adalah anak jalanan jebolan pesantren yang terjun ke jalan. Selain ngeband dan mengamen, Budi pernah menjadi Ketua Panji (Persaudaaran Anak Jalanan Indonesia).

Perlu diketahui, setiap wilayah di in¬donesia, mereka punya persaudaraan, komunitasnya sekitar 5000-an, rata-rata muslim. Jika ada teman-teman yang ter¬jaring trantib, Budi-lah yang mengurus untuk membebaskan rekannya itu. Di usia muda, tepatnya 23 Mei 2007 lalu, Budi meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas, meskipun sempat dirawat selama tiga hari di RS. UKI.

Komunitas Punk Moslem rupanya mulai banyak jaringannya. “Kalau ikut komunitas mereka di Tangerang, shalat Jumat, misalnya, khotibnya pun dari komunitas mereka sendiri, gayanya metal abis. Termasuk jamaahnya. Me¬mang, nggak semuanya punk, alirannya beragam, ada yang beraliran regge, altematif, rap, dan aliran musik lainnya,” kata Zaki.

Temyata Budi tidak sendiri. Ada se¬orang rekan yang memiliki misi sama untuk mengisi ladang dakwah ini di tengah komunitas anak punk. Ia adalah Bowo, anak kiai jebolan pesantren yang juga habis waktunya di jalan. Sejak itulah, Zaki merasa mendapat dukungan penuh.

“Kalau bukan’ kita siapa lagi yang akan berdakwah di kalangan anak jalanan. Kalau mau dakwah di komunitas anak jalanan, elu harus main di jalanan. Jika berdakwah di komunitas punk, elu tidak bisa pake baju koko, yang menun¬jukan kesalehan,” begitu Bowo pemah berujar.

Sebagai generasi punk yang tobat, Budi dan Bowo merasa prihatin dan gerah melihat teman-teman yang menga¬lami disorientasi dalam hidupnya.

“Kini banyak bermunculan generasi punk yang tidak jelas, apakah punk ideologis atau punk modis. Kalau tahun 1994, banyak punk ideologis. Mereka benar-benar punk. Sekarang sekadar punk mode,” kata Zaki.

Keprihatinan itulah yang mendorong Zaki, Budi. dan Bowo menarik anak-anak punk yang sudah bosan dengan jalan hidupnya. Ngeband dan mengaji adalah kultur baru yang hendak ditularkan ke generasi punk. Mereka menyebut iden¬ titas kelompoknya dengan sebutan Punk Moeslem. Saat ngeband, syairnya pun bernuansakan Islami. Ketika Islam men¬jadi basic, mereka mulai malu saat berbuat maksiat.

Punk Moslem lahir karena kepriha¬tinan seorang Budi (alm), akan kondisi pemuda yang berada di komunitas punk, hidup tanpa orientasi (anti kemapanan) dan meninggalkan agamanya. Punk Moslem itu didirikan sejak Ramadhan 1427 H (2007). Sebelum berdiri Punk Moslem, Budi sempat mendirikan Wa¬rung Udix Band yang berdiri 7 tahun yang lalu dan sempat mengeluarkan album indielabel “Anak Bayangan”. Di Warung Udix, ia merekrut anak-anak punk dan mengajarkan pendidikan Islam.

“Kalau orang bangga dengan kemus¬rikan dan dosa-dosa yang mereka laku¬kan, tapi punk moslem bangga dengan agama mereka (Islam). Biar mereka anak jalanan, brutal, tapi anak-anak punk moslem tetap punya Tuhan. Ketika ternan-teman menamakan dirinya punk muslim, ada sebagian komunitas yang menolak punk muslim secara tegas. Mereka berkilah, tidak ada tuh anak punk yang punya tuhan atau ideologis.”

Setelah ngeband, anak-anak punk merasa ada sesuatu yang kosong. Sejak 4-5 bulan yang lalu, dibuatlah pengajian rutin. Setiap malam Jumat, diadakan taklim, bentuknya seperti mentoring. Sedangkan Selasa malam, belajar tah¬sin. Mulanya hanya lima anak yang ngaji, kemudian berkembang menjadi 20 orang, laki-Iaki dan perempuan. Kini, ngaji bagi mereka adalah sebuah kebu¬tuhan.

Awalnya mereka ada yang atheis. Sampai-sampai ada yang guyon, ah..gue mau masuk Islam atau Kristen dulu. Karena bagi mereka, agama bukanlah sesuatu yang sakral. Kalau pas ngamen cuma dapat Rp. 300, diantara mereka ada yang teriak: “Allah Maha Pelit”. SeteIah dibina, anak itu meyakini Allah itu tidak pelit.

“Ketika anak-anak punk sudah menganggap ngaji sebagai kebutuhan, mereka mengirim pesan singkat (sms), malam ini ngaji nggak? Yang jelas, saya tidak ingin mereka merasa sedang diarahkan untuk masuk sebuah pergerakan atau kelompok harakah tertentu. Saat ini, pengajian kami memang belum ada namanya. Paling-paling, teman-teman menyebut penga jian ini pengajiannya punk moslem.”

Zaki menargetkan untuk lebih fokus membina 20 anak yang rutin mengaji. Suatu ketika, mereka akan merekrut rekan-rekannya sendiri. Syukur-syukur jaringan ini bisa menyebar lagi. Rencananya, awal Juni ini Zaki akan mengadakan daurah (pelatihan) di puncak. Dari 20 anak yang mengaji, separuhnya sudah ada yang lancar membaca al Quran.

Meski Zaki bekerja di sebuah lembaga sosial (DD), ia tak diminta untuk berdakwah atas nama institusinnya. Secara pribadi, Zaki merasa terpanggil. Tak sia-sia, hasil dari dakwah itu, tidak sedikit anak-anak punk yang hijrah dan mulai pandai mengaji. Sebut saja, Lutfi yang meninggalkan dunia obat dan minuman keras. “Harapan saya ke depan, mereka dapat menjadi agen perubahan bagi teman-teman yang lain,” jelas Zaki.

Bukan rahasia umum, anak jalanan kerap dianggap tidak produktif, bahkan dicap sampah masyarakat. Orang kalau berdakwah di masjid itu biasa. Tapi bagaimana jika berdakwah di komunitas anak-anak punk?

Zaki, Budi, dan Bowo adalah segelintir yang mengambil pilihan itu. [Adhes Satria-SABILI]